Monday, July 22, 2013

Regulasi Diri pada Anak Usia Dini


Regulasi diri sangat menarik bagi saya. Kata ini saya dapat saat kuliah Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan.
 
Salah satu tujuan penting pengajaran adalah untuk mempersiapkan siswa untuk belajar seumur hidup. Untuk mencapai tujuan ini, siswa harus menjadi self regulated learners, artinya mereka harus memiliki kombinasi antara pengetahuan, motivasi untuk belajar dan volition (kemauan) yang menyediakan keterampila dan kemauan untk belajar secara mandiri dan efektif. Pengetahuan mencangkup pengetahuan tentang self, subjek, tugas, strategi pembelajaran, dan konteks-konteks untuk aplikasi. Motivasi untuk belajar memberikan komitmen dan kemauan adalah penyelesaian yang menangkal distraksi dan memproteksi persistensi.

Bagaimana cara menumbuhkan regulasi diri pada Anak Usia Dini?

caranya adalah dengan membiasakan disiplin yang konsisten sejak dini pada mereka
selain itu, pola asuh orang tua juga sangat mempengaruhi. tidak dapat dipungkiri, orang tua merupakan sosok yang seharusnya paling dekat dengan anak - anaknya. pola asuh yang situasional yang bisa menumbuhkan regulasi diri pada anak usia dini.

pola asuh situasional merupakan pola asuh yang otoriter namun demokratis. ada saatnya anak diberikan sikap tegas dari orang tua, ada saatnya pula anak berhak menentukan pilihannya sendiri selama itu masih masuk akal.

 pola asuh dan lingkungan yang mendukung akan membuat anak memiliki regulasi diri yang baik sejak dini, namun tidak juga menjadikannya anak yang tidak memiliki E.Q yang baik pula. jadi, kerjasama yang baiklah yang mampu menghasilkan anak yang baik I.Q maupun E.Q.


Sajak Setelah Isya

setelah isya..
malam ini setelah isya

sayup-sayup terdengar lantunan ayat-atay Nya dari masjid depan sana
merdu...
lebih merdu dari si biduan kota

malam ini setelah isya
berbeda dari malam kemarin setelah isya
bukan suara benda dengan dawai lagi yang terdengar
tapi suara merdu yang melantunkan ayat-ayat Nya dengan lirik yang indah
seindah tanda cinta
ya.. tanda cinta Nya untuk kita


malam ini setelah isya
dengan sang mendung yang bersanding dengan dingin
dengan sang jangkrik yang bersanding dengan angin
terus terdengar lantunan tanda cinta itu sampai sang malam lenyap

malam ini setelah isya

Thursday, July 18, 2013

I.Q OR E.Q ?!

Ketika orang tua menyekolahkan anaknya, apakah yang ada di benak mereka ? ingin menjadikan anaknya manusia yang cerdas intelligent nya tetapi tidak peka terhadap sesama dan menjadi manusia yang serakah atau ingin menjadikan anaknya manusia yang memiliki attitude, sopan - santun, memiliki empati yang tinggi, dapat menghargai orang - orang di sekitarnya, pandai bersosialisasi dan menjadi pribadi yang berbudi pekerti meskipun dengan intelligent yang tidak terlalu tinggi ? 
Pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran jangka panjang. Hal ini dilakukan untuk menjadi manusia yang berkembang sehingga dapat mengaktualisasikan semua potensi yang dimiliki dan menjadi manusia yang berkualitas serta bermanfaat bagi seluruh kehidupan bermasyarakat. Namun, perkembangan segala potensi diri yang dimiliki setiap anak berbeda satu dengan yang lainnya.
Pada tahun 1983 Gardner (dalam Santrock) mengungkapkan Delapan Kerangka Pikiran (Multiple Intelligence), yaitu:
a.       Keahlian verbal
b.       Keahlian matematika
c.       Keahlian spasial
d.       Keahlian tubuh-kinestetik
e.       Keahlian musik
f.       Keahlian intrapersonal
g.       Keahlian interpesonal
h.       Keahlian naturalis

Multiple Inttelence diatas, dimiliki setiap anak, namun berbeda - beda. namun, ada juga yang memiliki beberapa intelegensi sekaligus. Seperti yang dikatakan oleh Brody (dalam Santrock) bahwa orang-orang yang unggul pada satu tipe tugas kecerdasan biasanya akan unggul di tugas-tugas kecerdasan yang lain. Jadi, anak-anak yang mahir dalam perhitungan angka bisa jadi mahir di bidang visual dan verbal. Carroll (dalam Santrock) melakukan penelitian ekstensif terhadap kecerdasan dan menyimpulkan bahwa semua aspek kecerdasan terkait satu sama lain. Hal ini meyakinkan kita bahwa tidak ada anak yang tidak memiliki kecerdasan. Anak yang kurang mahir dalam hal angka, pasti ia memiliki keahlian di aspek kecerdasan yang lain. Jadi, bagi para orang tua jangan merasa minder jika anaknya terlihat tidak berprestasi atau biasa - biasa saja, karena, pasti di dalam diri anak memiliki keahlian tersendiri dan berbeda satu dengan yang lain.

Daniel Goleman (dalam Santrock) yang berpendapat, untuk memprediksi kompetensi seseorang, IQ seperti yang diukur dengan tes kecerdasan ternyata tidak lebih penting dari kecerdasan emosional. Berikut empat area kecerdasan emosional yakni:
  1. Developing emotional awareness (kemampuan untuk memisahkan perasaan dari tindakan),
  2. Managing emotions (kemampuan untuk mengendalikan amarah),
  3. Reading emotions (memahami perspektif orang lain), dan
  4. Handing relationships (kemampuan untuk memecahkan problem hubungan).
    Selanjutnya dalam teori Gardner, kecerdasan interpersonal dan intrapersonal masuk ke dalam kategori kecerdasan emosional. Para ahli teori mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan merasakan dan mengekspresikan emosi dengan tepat, sesuai situasi, kemampuan memahami emosi dan pengetahuan emosional. Selain itu, kemampuan menggunakan perasaan guna melancarkan pemikiran serta kemampuan mengatur emosi diri sendiri dan orang lain seperti kemampuan mengendalikan amarah.

Saya sependapat dengan Goleman, dimana E.Q merupakan bagian yang jauh lebih penting dari pada I.Q. ketika seorang anak didik keras hanya demi memiliki prestasi akademik dan I.Q tinggi, namun dia tidak dapat mengatur emosinya, maka semua itu tidak ada artinya. Setelah terjun dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat tidak menilai seseorang melalui kecerdasannya, mereka lebih peduli dengan attitude, sopan santun dan kepandaian orang tersebut dalam mengelolah emosinya dengan baik kepada sesama di lingkungannya.

Didiklah anak - anak kita sejak usia dini tidak melulu untuk mendapatkan I.Q yang tinggi, untuk menjadi juara kelas dan untuk menjadi berprestasi. Karena, untuk menjadi "berprestasi", anak memiliki caranya sendiri sesuai potensi yang mereka miliki. Orang tualah yang harus mengarahkannya dan jangan MEMAKSAKANNYA.