Ketika orang tua menyekolahkan anaknya, apakah yang ada di benak mereka ? ingin menjadikan anaknya manusia yang cerdas intelligent nya tetapi tidak peka terhadap sesama dan menjadi manusia yang serakah atau ingin menjadikan anaknya manusia yang memiliki attitude, sopan - santun, memiliki empati yang tinggi, dapat menghargai orang - orang di sekitarnya, pandai bersosialisasi dan menjadi pribadi yang berbudi pekerti meskipun dengan intelligent yang tidak terlalu tinggi ?
Pendidikan merupakan suatu
proses pembelajaran jangka panjang. Hal ini dilakukan untuk menjadi manusia
yang berkembang sehingga dapat mengaktualisasikan semua potensi yang dimiliki
dan menjadi manusia yang berkualitas serta bermanfaat bagi seluruh kehidupan
bermasyarakat. Namun, perkembangan segala
potensi diri yang dimiliki setiap anak berbeda satu dengan yang lainnya.
Pada
tahun 1983 Gardner (dalam Santrock) mengungkapkan Delapan Kerangka Pikiran (Multiple Intelligence), yaitu:
a. Keahlian
verbal
b. Keahlian
matematika
c. Keahlian
spasial
d. Keahlian
tubuh-kinestetik
e. Keahlian
musik
f. Keahlian intrapersonal
g. Keahlian
interpesonal
Multiple Inttelence diatas, dimiliki setiap anak, namun berbeda - beda. namun, ada juga yang memiliki beberapa intelegensi sekaligus. Seperti yang
dikatakan oleh Brody (dalam Santrock) bahwa orang-orang yang unggul pada satu
tipe tugas kecerdasan biasanya akan unggul di tugas-tugas kecerdasan yang lain. Jadi, anak-anak yang mahir
dalam perhitungan angka bisa
jadi mahir
di bidang visual dan verbal. Carroll (dalam
Santrock) melakukan penelitian ekstensif terhadap kecerdasan dan menyimpulkan
bahwa semua aspek kecerdasan terkait satu sama lain. Hal ini meyakinkan kita
bahwa tidak ada anak yang tidak memiliki kecerdasan. Anak yang kurang mahir
dalam hal angka, pasti ia memiliki keahlian di aspek kecerdasan yang lain. Jadi, bagi para orang tua jangan merasa minder jika anaknya terlihat tidak berprestasi atau biasa - biasa saja, karena, pasti di dalam diri anak memiliki keahlian tersendiri dan berbeda satu dengan yang lain.
Daniel
Goleman (dalam Santrock) yang berpendapat, untuk memprediksi kompetensi
seseorang, IQ seperti yang diukur dengan tes kecerdasan ternyata tidak lebih
penting dari kecerdasan emosional. Berikut empat area kecerdasan emosional
yakni:
- Developing emotional awareness (kemampuan untuk memisahkan perasaan dari tindakan),
- Managing emotions (kemampuan untuk mengendalikan amarah),
- Reading emotions (memahami perspektif orang lain), dan
- Handing relationships (kemampuan untuk memecahkan problem hubungan).
Selanjutnya dalam teori
Gardner, kecerdasan interpersonal dan intrapersonal masuk ke dalam kategori
kecerdasan emosional. Para ahli teori mendefinisikan kecerdasan emosional
sebagai kemampuan merasakan dan mengekspresikan emosi dengan tepat, sesuai
situasi, kemampuan memahami emosi dan pengetahuan emosional. Selain itu,
kemampuan menggunakan perasaan guna melancarkan pemikiran serta kemampuan
mengatur emosi diri sendiri dan orang lain seperti kemampuan mengendalikan
amarah.
Saya sependapat dengan Goleman, dimana E.Q merupakan bagian yang jauh lebih penting dari pada I.Q. ketika seorang anak didik keras hanya demi memiliki prestasi akademik dan I.Q tinggi, namun dia tidak dapat mengatur emosinya, maka semua itu tidak ada artinya. Setelah terjun dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat tidak menilai seseorang melalui kecerdasannya, mereka lebih peduli dengan attitude, sopan santun dan kepandaian orang tersebut dalam mengelolah emosinya dengan baik kepada sesama di lingkungannya.
Didiklah anak - anak kita sejak usia dini tidak melulu untuk mendapatkan I.Q yang tinggi, untuk menjadi juara kelas dan untuk menjadi berprestasi. Karena, untuk menjadi "berprestasi", anak memiliki caranya sendiri sesuai potensi yang mereka miliki. Orang tualah yang harus mengarahkannya dan jangan MEMAKSAKANNYA.
No comments:
Post a Comment